gambar diambil dari sini
Pada awal April 1991 Gunung Pinatubo di Pulau Luzon menunjukkan tanda-tanda segera meletus setelah lebih dari 500 tahun tidur, di Filipina. Pada tanggal 12 Juni 1991 (Hari Kemerdekaan Filipina), mulai terjadi letusan yang terputus-putus dan pada tanggal 15 Juni 1991, terjadi letusan dahsyat.
Bencana yang dibawa oleh letusan Gunung Pinatubo diasumsikan memiliki sifat yang unik sebagai berikut:
Kerusakan meluas yang berdampak pada masyarakat dan ekonomi
Kerusakan akibat lahar dan ancaman banjir
Kerusakan endemik jenis flora dan fauna mengakibakan perubahan dari lanskap dan tata guna lahan
Kerusakan berdampak pada lingkungan global.
Luasnya kerusakan dan dampak sosial-ekonomi letusan Gunung Pinatubo dan akibat pasca bencana, khususnya lahar selama musim hujan, tidak hanya merenggut banyak kehidupan tetapi juga kerusakan infrastruktur dan aktivitas ekonomi di Central Luzon. Total nilai kerusakan infrastruktur dan lingkungan minimal P10.1 miliar (US $ 374 juta) pada tahun 1991, dan P1.9 miliar (US $ 69 juta) pada tahun 1992. Selain itu, diperkirakan P454 juta (US $ 17 juta) dari bisnis pada tahun 1991, dan P37 juta (US $ 1,4 juta) pada tahun 1992.
Lahar terus mengancam nyawa dan harta benda di berbagai kota di propinsi Tarlac, Pampanga, dan Zambales. Kehancuran bertambah dengan ancaman lahar dan abu jatuh, yang telah mengganggu pusat perekonomian Luzon, perlambatan daerah dari momentum pertumbuhan dan mengubah kunci dan prioritas kegiatan pembangunan. Sumber utama telah dialihkan untuk bantuan kemanusiaan, pemulihan, dan pencegahan kerusakan lebih lanjut.
Biaya untuk evakuasi pengungsi, termasuk pembangunan kamp pengungsian dan pusat relokasi, sedikitnya P2.5 miliar (US $ 93 juta) pada 1991-1992, dan P4.2 miliar (US $ 154 juta) telah dikeluarkan selama periode yang sama pada pembuatan tanggul dan bendungan untuk mengendalikan lahar. Pada jangka panjang dan dampak bencana yang sangat besar bahwa masyarakat harus memikirkan pembebasan dan pemulihan.
Daerah dan masyarakat yang terkena dampak
Selama letusan 15 Juni 1991, hujan abu telah menyebabkan kerusakan yang luas di propinsi bersebelahan dengan Gunung Pinatubo, seperti halaman dan atap rumah, bangunan dan fasilitas umum runtuh. Provinsi ini meliputi Zambales, Tarlac, dan Pampanga.
Kantor regional Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan (DSWD) telah melaporkan total 657 orang mati, 184 terluka dan 23 hilang pada 29 September 1991. Korban yang sebagian besar akibat keruntuhan bangunan, korban akibat banjir, dan penyakit di pusat pengungsian. Provinsi Zambales dan Pampanga menyumbang sebagian besar korban.
Selain itu, dari Juni 1991 hingga November 1992, rata-rata kehilangan mata pencaharian, rumah atau keduanya yang sebagian atau seluruhnya kehilangan barang di 364 desa. Pada sensus 1990, sekitar 329.000 keluarga (2,1 juta orang) atau sepertiga dari penduduk wilayah ini tinggal di desa-desa.
Dampak letusan Gunung Pinatubo diantaranya:
1. Dampak terhadap sumber daya alam
Letusan besar-besaran telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Yang terkubur hujan abu seluas 18.000 hektar lahan hutan dengan ketebalan 25 sentimeter. Rangkaian hujan lebat yang mengikuti letusan telah memaksa lahars mengalir ke bawah menuju 8.968 hektar dataran rendah. Sedikitnya delapan sungai utama telah tersendat oleh lahar, yaitu Balin-Baquero Bacao, Santo Tomas, Gumain, Porac, Pasig-Potrero, Abacan, Bamban dan Tarlac Rivers.
2. Dampak pada pertanian
Lahan daerah pertanian yang sangat terpengaruh oleh hujan abu mencapai 96.200 hektar. Merusak tanaman, peternakan dan perikanan yang bernilai P 1.4 miliar. Pada 17 November 1992, kerusakan dari banjir, dan genangan dilaporkan menjadi P 1.4 miliar, dengan tanaman pangan dan perikanan sebagai paling terpengaruh.
3. Dampak terhadap industri dan perdagangan
Perdagangan dan sektor industri juga sangat terpengaruh, terutama manufaktur dan ekspor sub-sektor, yang mempengaruhi 599 perusahaan dengan total aset P851 juta. Kerugian awal produksi yang dilaporkan adalah 45% dari potensi penjualan untuk tahun 1991 yaitu P454 juta, sedangkan modal investasi dari 306 perusahaan yang disurvei total P425 juta. Kerugian terberat di sub-sektor manufaktur adalah industri furnitur dengan total P156.5 juta dengan perkiraan kerusakan 108 perusahaan terpengaruh.
4. Dampak terhadap pelayanan social
Bidang Kesehatan. Angka penyebaran penyakit dan kematian meningkat di pusat-pusat evakuasi. Serangan awal adalah penyakit infeksi pernapasan akut (ARI), diare, dan campak (Departemen Kesehatan, unpublished data, 1991). Dengan angka kematian (Aeta dan dataran rendah sekitarnya) adalah 7 per 10.000 per bulan selama 1991, khusus Aetas pada tahun 1991 mencapai sebesar 26 per 10.000 per minggu, dan rata-rata 16 per 10.000 per minggu (Departemen Kesehatan, 1992), dan Aeta tertinggi terutama di kalangan anak-anak.
Bidang Kesejahteraan sosial. Dengan ancaman yang terus menerus dibutuhkan adanya bantuan berupa makanan,pakaian, tempat berteduh, dan bantuan lainnya. Pada 28 Oktober 1993, sekitar 1.309.000 orang sedang bertugas di luar pusat-pusat evakuasi. Pada tanggal yang sama, 159 pusat evakuasi sedang dikelola oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan (DSWD) di seluruh Wilayah III, beberapa perumahan 11.455 keluarga atau 54.880 orang dan memberikan bantuan makanan-untuk-kerja atau tunai-untuk-kerja.
Bidang Pendidikan. Sekitar 700 bangunan sekolah dengan 4.700 ruang kelas hancur memaksa untuk memindahkan sekitar 236.700 siswa dan 7009 guru. Kerusakan gedung sekolah diperkirakan P 747 juta per Agustus 1991 jumlah yang terus bertambah akibat aktifitas lahar. Kerusakan ringan berupa bahan, perabot, peralatan, dan perlengkapan sekolah lainnya diperkirakan di P93 juta peso (Departemen Pendidikan, Budaya, dan Olahraga, unpublished data, 1991).
5. Dampak terhadap infrastruktur publik
Dalam laporan penilaian kerusakan pada 23 Agustus 1991, Departemen Pekerjaan Umum dan Jalan Raya (DPWH) Kantor Regional III diperkirakan kerusakan sejumlah infrastruktur publik senilai P3.8 miliar. Tambahan kerusakan minimal 1 miliar peso terhadap jalan-jalan dan jembatan diakibatkan oleh lahar pada tahun 1992 (Dewan Koordinasi Bencana Nasional, 1992).
6. Dampak keseluruhan
Secara keseluruhan, kerusakan dan kerugian produksi akibat dari letusan dan lahar adalah sekitar P10.5 miliar pada tahun 1991 dan P1.9 miliar pada tahun 1992. Nilai-nilai ini hanya mencakup kerusakan dan kerugian yang dapat dihitung. Kerugian lain tidak disertakan dalam perkiraan ini, termasuk kehidupan manusia, sosial masyarakat, anak-anak sekolah, dan aspek sosial lainnya.
Pengelolaan Bencana Alam oleh Pemerintah Filipina
1. Perundang-undangan, Kebijakan dan Organisasi
Pijakan Pemerintah Filipina dalam pengelolaan bencana alam terkait dengan letusan Gunung Pinatubo, 26 Juni 1991, Presiden Corazon Aquino C., melalui Memorandum Order No. 369, telah menciptakan Gugus Tugas Kepresidenan dalam Rehabilitasi di Wilayah-wilayah yang terpengaruh oleh letusan Gunung Pinatubo atau Gugus Tugas Gunung Pinatubo. Lalu diganti oleh Komisi Bantuan Pemukiman dan Pembangunan Gunung Pinatubo.
Secara khusus, Komisi ini bertugas untuk :
- menyediakan dana tambahan untuk bantuan segera korban,
- membangun kembali pusat pemukiman dan bekas rumah,
- menyediakan mata pencaharian dan lapangan kerja,
- memperbaiki, membangun kembali atau mengganti prasarana yang rusak atau hancur,
- membangun fasilitas infrastruktur baru yang dibutuhkan oleh para korban.
Dalam melaksanakan tugas ini, Komisi, melalui instansi pemerintah yang sesuai, melaksanakan proyek-proyek dan kegiatan yang dapat dibagi dalam empat wilayah besar program :
- Pembangunan pemukiman kembali,
- Penciptaan mata pencaharian,
- Pembangunan pelayanan sosial
- Pembangunan infrastruktur.
Presiden Ramos memperpanjang masa kerja Komisi sampai Desember 2000 melalui Instruksi Presiden 1201, tanggal 19 Maret 1998.
Sebelum Komisi berakhir, Presiden Joseph E Estrada mengalihkan kedudukan ketua kepada departemen Manajemen dan Anggaran (DBM) dan mengarahkan persiapan dari bergulirnya program (Executive Order No 269 yang dikeluarkan pada tanggal 19 Juli 2000). Setelah menjabat pada tahun 2001, Presiden Gloria Macapagal-Arroyo mengeluarkan serangkaian arahan untuk menjamin kontinuitas, integrasi dan kesinambungan pekerjaan Komisi. Executive Order No 4, yang dikeluarkan pada 5 Maret 2001, dibuat badan ad hoc untuk melengkapi penyelesaian atas kegiatan Komisi. Executive Order No 5, yang dikeluarkan pada 5 Maret 2001, mengalihkan administrasi pemukiman kembali masyarakat Pinatubo dataran tinggi dari Komisi ke unit kerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Executive Order No 6, yang dikeluarkan pada tanggal 20 Maret 2001, mengalihkan 14 pemukiman kembali Pinatubo dataran rendah yang ada di bawah pengawasan dari Dewan Koordinasi Perumahan dan Pembangunan Perkotaan (HUDCC). Selain itu, juga dibuat di bawah Dewan tersebut yaitu Kantor Manajemen Proyek Pinatubo (PPMO) untuk mengelola daerah pemukiman kembali tersebut.
2. Respon terhadap Bencana
a. Peringatan Dini dan Evakuasi :
Penduduk yang tinggal di dataran tinggi sekitar 20.000 orang telah aman diungsikan sebelum letusan. Penduduk yang tinggal di dataran rendah juga mengikuti peringatan dini dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dari gunung berapi. Selain itu, lebih dari 15.000 pekerja Amerika dan keluarganya mereka telah diungsikan dari Markas Udara Clark sebelum ledakan.
b. Tanggap Darurat
Departemen Kesehatan memimpin dalam penyediaan perawatan medis dan pelayanan kesehatan masyarakat di pusat-pusat evakuasi, termasuk pengawasan penyakit. Anjuran Kesehatan juga dikeluarkan dan disiarkan ke masyarakat untuk memberi panduan dalam menghadapi hujan abu yang merupakan bahaya kesehatan karena partikel volkanis yang halus dapat menyebabkan sakit mata atau memicu asma
3. Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan dan kebijakan pemerintah sebagai tindak lanjut penanganan bencana letusan Gunung Pinatubo antara lain dengan melakukan beberapa program jangka panjang.
a. Transmigrasi
Menampung penduduk yang kehilangan tempat tinggal atau terkena dampak dan dianggap tidak aman untuk tempat tinggal. Terdapat dua sasaran penerima bantuan untuk kembali di daerah dataran tinggi dan para pengungsi dari dataran rendah. Untuk dua kelompok yang berbeda perlu mempertimbangkan variasi dalam orientasi sosial-budaya dan kegiatan sosial-ekonomi dari sukunya.
b. Mata Pencaharian
Pemerintah harus memberikan perhatian segera dan jangka panjang, membuka kesempatan untuk mata pencaharian bagi pengungsi dan petani pekerja. Banyak lahan pertanian sudah tidak cocok untuk bercocok tanam dan menyebabkan gangguan produksi dari industri berbasis pertanian. Penutupan pangkalan Clark menjadikan kebutuhan jangka pendek dan peluang mata pencaharian alternatif harus segera disiapkan.
c. Pelayanan Sosial
Bencana alam telah memberikan tekanan pada sektor jasa sosial untuk terus memberikan pelayanan sosial dalam hal kesehatan, kesejahteraan sosial dan pendidikan. Kesehatan mental dan pelayanan sosial harus diperluas untuk korban di dalam dan di luar pusat-pusat evakuasi. Pembukaan kelas dan perpanjangan jadwal sekolah harus dipertimbangkan oleh pemerintah pada saat yang sama, juga memberikan bantuan layanan evakuasi ke dalam fasilitas sekolah. Pelayanan sosial harus diperluas di daerah-daerah transmigrasi.
d. Infrastruktur
Letusan menyebabkan kerusakan besar-besaran ke seluruh infrastruktur, jalan dan jembatan, bangunan fasilitas umum, komunikasi, utilitas, bangunan sungai dan banjir.
e. Pengelolaan tanah dan lingkungan hidup.
Akibat letusan, terutama lahar, terus memusnahkan lahan pertanian, hutan, tegalan dan badan air, hal ini telah menyebabkan kerusakan pada sistem sungai dan lingkungan secara keseluruhan di wilayah ini.
f. Sains dan Teknologi.
Kebutuhan untuk melakukan kajian ilmiah dan studi terkait merumuskan kebijakan serta merupakan bukti kepedulian dan tantangan untuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembangunan alternatif yang menggunakan abu jatuh untuk komersial atau industri yang penting bagi pemerintah dan swasta.
4. Meningkatkan kerjasama dan koordinasi melalui bantuan internasional
Bantuan internasional untuk pemulihan dan rehabilitasi akibat bencana memerlukan kerjasama dan koordinasi. Bencana-bencana di suatu negara harus memiliki akses ke setiap lembaga bantuan internasional, atau paling tidak, untuk badan informasi tentang penanganan bantuan terbaik guna pemulihan dan rehabilitasi. Akses ini dapat dibentuk dan diwujudkan jika ada mekanisme yang efisien dan efektif untuk berbagi informasi dan koordinasi atau memfasilitasi bantuan internasional.
Pada awal pemulihan dan rehabilitasi perlu pembentukan organisasi yang benar-benar efisien dan efektif. Koordinasi badan atau organisasi di tingkat internasional hanya dapat dicapai melalui proses konsultasi dan pembangunan konsensus (terutama pada prosedur dan protokol) di antara para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah (pengambil keputusan), lembaga donor, organisasi-organisasi internasional, dan organisasi non pemerintah.
(Resume of: Emmanuel M. de Guzman Consultant (Philippines)
Links: park.org,vulcan.wr.usgs.gov